Pulang Ke Kotamu
Aku
ingin menemukanmu dalam sapa rinduku
Menggenggammu
sangat erat
Kau
tahu seperti apa deru hatiku saat ini?
Awalnya ini
hanya sebuah penyesalan tak berarti bagiku. Rasa yang terus mengusikku selalu
bergemuruh. Membuatku terus berpikir.
Barangkali
kamu memang sebuah misteri. Aku selalu berada di sini. Di kotamu, Yogyakarta.
Inilah aroma yang paling aku sukai. Aroma kotamu. Kotamu sebuah tempat yang cukup membuatku kagum,
nuansa jawanya yang khas dan memiliki beberapa nilai sejarah yang cukup
berperan besar untuk Indonesia. Namun, bukan itu yang membuatku lebih tertarik.
Kotamu
selalu membuatku bernostalgia akan kamu. Aku terhanyut. Arusnya seakan selalu
menarikku setiap aku menatap siluet-siluet bayangmu. Iya, hanya bayang-bayang.
Nostalgia
itu selalu mengajakku untuk berjalan menyusuri persimpangan jalan ini. Aku
selalu di sini jika sewaktu-waktu kamu ingin menemuiku. Dan tempat ini masih
saja sama seperti dulu. Banyak pedagang kaki lima. Orang-orang duduk bersila dengan
beralas tikar sederhana. Pedagang wedang
ronde favoritmu pun masih ada. Masih saja tetap sama. Bapak tua itu bersama
sang istri. Hanya saja lekuk keriput pada kulitnya semakin jelas dan matanya
sudah semakin cekung.
Apalagi
musisi-musisi jalanan. Kau bilang kamu suka mendengar lagu-lagu keroncong. Dan
sekarang aku selalu meminta mereka untuk membawakan lagu keroncong jika aku
datang. Tentu tabiatku ini selalu dihafali oleh mereka.
Aku
selalu di sini, di persimpangan jalan.
**
Aku
dan kamu punya cerita. Kamu melihat kami waktu itu. Duduk di kursi salah satu
kafe di kotamu. Kamu juga menyaksikan bagaimana kami. Tapi aku tidak melihatmu.
“Aku tidak bisa
menikah denganmu Yogi. Aku mencintai Reno, sahabatmu. Dan Reno juga
mencintaiku. Maafkan aku Yogi. Kami tidak bermaksud menghianatimu. Tapi cinta
ini telah tumbuh dengan sendirinya. Hatiku telah memilih Reno. Maafkan aku..”
ucap wanita di hadapanku sedikit menitikkan air mata.
Seketika itu
hatiku remuk. Hubungan yang kami rajut sekian lama kandas begitu saja tepat di
hari jadi kami yang keenam. Konfliknya persis seperti cerita-cerita dalam
film-film romance. Seorang kekasih yang tiba-tiba jatuh cinta dengan sahabat
pacarnya. Dan ironinya sahabat pacarnya ternyata juga mencintainya.
Kurasa sejak
awal dia seharusnya mengatakan hal itu kepadaku. Aku tak apa jika mereka berdua
saling mencintai sejak awal. Setidaknya aku tidak terlalu patah hati. Patah
hati ini seakan terasa sangat menyakitkan ketika dia berucap saat aku ingin
melamarnya. Bodohkah diriku yang terlalu setia padanya? Saat dia tidak
sungguh-sungguh mencintaiku, malah meremukkan hatiku.
Sialnya aku
sangat mencintai wanita di hadapanku ini.
Maka mau tak mau
aku harus merelakannya pergi memilih Reno.
**
Apa salah yang
pernah dibuat oleh seorang lelaki sepertiku sehingga aku mendapat kisah seperti
ini. Aku tahu selama ini aku terlalu sibuk sehingga mungkin dia kesepian.
Atau mungkin dia terlalu bosan denganku?
Seharusnya dia tidak berhak menyakitiku seperti ini. Memangkas habis semua perasaanku yang selama
bertahun-tahun aku tanam.
Aku masih di kotamu
bersama sang patah hati. Mengingat luka-lukaku. Aku dan kamu bertemu serta
berkenalan dengan pertanyaanmu yang paling lancang jika ditanyakan kepada
seorang lelaki yang sedang patah hati. Angin malam setelah kejadian pagi itu
berhembus, lirih dingin menyapa. Masih dengan ingatanku yang cukup jelas dan
rasa sakit di dalam dadaku, di persimpangan jalan aku duduk bersila di tempat
pedagang kaki lima yang menyajikan sajian khas kotamu. Disitulah aku dan kamu
bertemu untuk yang pertama kalinya. Kamu duduk tak jauh dariku memesan sajian
yang sama denganku. Saat aku ingin mengeluarkan selembar rupiah ternyata aku
meninggalkan dompetku di hotel. Lalu perhatianmu mulai tertuju kepadaku dan
akhirnya kamu mulai mengenali aku. Kamu dengan suka rela membayar tagihanku
pada pedagang kaki lima itu. Aku merasa tak enak hati. Dari kejadian itu aku
dan kamu mulai membuka pembicaraan. Setelah menunggumu menghabiskan pesananmu,
aku dan kamu menyempatkan malam itu untuk berjalan-jalan di kotamu.
“Yogi ya?” kamu
memalingkan wajahmu ke arahku sambil menyelipkan rambutmu yang terurai dari
ikatannya.
Aku
terkejut, bagaimana bisa kamu mengetahui namaku. Sedangkan aku merasa kita
belum pernah bertemu. Aku bertanya kepadamu “Bagaimana kamu tau namaku?”
“Aku
melihatmu di kafe waktu itu dengan kekasihmu sepertinya. Kalian putus?” kamu
bertanya dengan polos.
“Oh
kamu melihatnya.” Kataku pelan. Aku menyelipkan kedua telapak tanganku kedalam
saku celanaku kala rasa dingin semakin menusuk. Aku dan kamu terus berjalan
beriringan.
“Kamu
lelaki yang tegar, bagaimana kamu bisa merelakan dia memilih sahabatmu?” Kata
kamu dengan ringan masih menatapku dari samping.
Aku
menatap garang ke arahmu. “Tidak usah ikut campur urusanku.” Ucapku ketus.
“kapan kita bertemu lagi?”
“Ya?
Buat apa?”
“Membayar
hutangku.” Kataku tanpa melirikmu sedikitpun.
Kamu
menggeleng. “Oh, soal itu.. tidak usah, itu tidak perlu kamu sebut hutang.”
“Kapan
dan dimana?” tegasku sekali lagi ketus.
“Iya, iya, besok jam 3 di musium
Jogja Kembali. Gitu aja marah uhh..” Jawabmu sinis ingin mengimbangi
keketusanku.
“Baik.” Jawabku singkat.
Kamu
kemudian memutuskan untuk pulang.
**
Apa
lagi yang masih kuharapkan dari kotamu. Patah hati membuatku semakin tak
mengerti menjalani hidup. Kini aku dingin. Lebih dingin daripada air yang
membeku. Terutama di hadapanmu.
Sesuai
janji kita. Aku bertemu denganmu. Tanpa basa basi aku mengembalikan uangmu.
Kamu menerimanya. Kemudian tiba-tiba tangan kananmu memberi sesuatu padaku.
“Ini.
es krim biar gak haus.” Katamu dengan senyum. “Ambil.”
Aku
menerimanya. “Thanks”
“Lagi
buru-buru gak?” tanyamu. “Duduk dulu yuk.” Jarimu menunjuk kearah tempat duduk
yang tak jauh dari sini.
Aku
tak merespon beberapa saat. Tiba-tiba kamu langsung menarik pergelangan
tanganku.
Kamu
gadis periang dengan banyak ocehan.
Aku
dan kamu duduk di tempat tadi yang kamu tunjuk. Tapi aku memalingkan wajahku
darimu sambil menikmati es krim.
“Aku
orang asli Jogja, sepertinya kamu bukan orang asli sini.” Wajahmu mengarah
kepadaku. Kamu menunggu jawaban dariku tapi aku lagi-lagi tidak merespon. “Jadi
kapan kamu pulang?” kamu bertanya lagi. “Yogi” bahumu menyenggol lenganku.
“Besok.”
“Secepat
itu? Jadi kamu di Jogja hanya ingin menulis kisah patah hatimu saja? Kamu tidak
ingin menikmati indahnya kota ini? padahal banyak tempat-tempat menarik di
sini. Kamu tidak tertarik?” kamu menatapku sambil menyelipkan rambutmu ke
telingamu. Kemudian kamu menyadari bahwa aku terganggu oleh kata-katamu tadi
saat mengungkit-ungkit tentang kisah patah hatiku. “Maaf” sambungmu.
Aku
masih tak menghiraukanmu.
“Memang
patah hati bikin orang jutek ya. Makanya aku selama ini nggak pernah mau
pacaran.” Kamu berkata lirih dengan nada sinis. “Padahal aku berusaha
menghiburmu.”
Aku
menaikkan alisku, dahiku berkerut menatapmu serius. “Nggak pernah pacaran?”
“Iya,
memang kenapa?” balasmu tak kalah ketus.
Aku
mulai tertarik denganmu sejak memasuki pembicaraan ini. Sikap dinginku
berkurang sedikit. aku tidak bermaksud memujimu. “Menurutku, wajahmu lumayan.
Jadi apa alasanmu tidak pernah pacaran? Komitmen?” tanyaku balik.
Kamu
menatap kedepan lalu nada bicaramu berubah serius. Aku memandang ke arahmu.
“Bukan. Hanya saja aku tidak pernah siap patah hati.”
Aku
langsung tertawa. Itu alasan yang paling aneh yang pernah kudengar. Tidak pernah
siap untuk patah hati? Alasan macam apa itu. Aku geli mendengarnya.
“Heh..
kamu bisa tertawa juga ternyata.” Ucapmu. “Kupikir kamu hanya cowok jutek.”
Tawaku
sontak terhenti.
“Yakin
mau pulang besok? Kalau kamu mau aku bisa jadi pemandumu untuk mengelilingi
kota ini.” matamu menyipit kearahku.
Lagi-lagi
aku tak merespon tapi kamu tau bahwa aku mau.
**
Boleh juga kamu
menjadi pemandu perjalananku. Ini pertemuan kita yang ketiga. Banyak sekali
yang kamu jelaskan kepadaku. Ya, itu lumayan menghiburku. Pertama tentang sejarah
museum Jogja Kembali, Malioboro, bahkan juga tentang cerita beringin kembar
yang berada di alun-alun kidul yang konon siapapun yang dapat mengitarinya,
permintaannya dapat terkabul. Itu hanya mitos. Namun kamu seakan yakin sekali
dengan hal itu. Aku hanya berusaha percaya kepadamu. Dan kamu pun mulai
terbiasa dengan sikap dinginku.
Kamu
menyodorkan tanganmu yang terlihat mungil itu. Aku hanya menatapnya saja. Kamu
kembali menatapku. “Kita belum kenalan.” Katamu dengan senyum. “Namaku..”
sebelum kamu selesai menyebut namamu aku memotong.
“Tidak
perlu. Lebih baik aku tidak tau namamu sama sekali. Atau bahkan tentangmu.”
“Oke
baiklah, itu tidak masalah bagiku.” Balasmu santai tanpa sedikitku terluka oleh
perkataanku.
Ocehan-ocehan selama perjalanan
menyusuri kotamu membuatku mengerti bahwa kamu menyukai menulis, puisi, dan
sesuatu yang berbau mellow. Kamu
bilang juga padaku bahwa kamu tidak bisa bernyanyi tapi kamu sangat menyukai
musik.
Aku juga tau kamu menyukai musik
keroncong. Aku mengetahui itu karena tiba-tiba saja saat kita duduk bersila di
persimpangan jalan tempat pertama kali kita bertemu tiba-tiba kamu menyelipkan ear phone mu ke telingaku. Aku terkejut.
Sama sekali bukan musik seleraku. Terlalu tua. Lantas spontan aku melepasnya.
“Selera musikmu tidak bagus.”
Kamu tidak menghiraukan perkataanku.
“Bagus. Musik keroncong itu unik. Harusnya kamu bangga Yogi masih bisa
mendengarkannya di sini.” Kamu melanjutkan menyeduh wedang ronde yang berada di
hadapnmu.
Ya, hanya itu yang kutau tentang
dirimu. Padahal aku tidak ingin tau semua sesuatu tentangmu.
**
Ada yang berbeda dengan pertemuan
kita yang kesekian setelah beberapa hari. jika dihitung-hitung tau-tau ini kali
pertemuan yang keenam. Aku belum bisa memastikan apa yang sebenarnya berbeda.
Kamu masih sama. Gadis tidak penting
bagiku. Tapi kamu cukup bermanfaat. Aku meminta kita bertemu di kafe kali ini.
Sampai saat ini juga aku masih dingin padamu.
Aku duduk sendiri ditemani secangkir
latte di hadapanku. Kamu datang
kemudian. Mengenakan baju berwana biru dengan celana jeans dan sepatu sneakers berwarna coklat. Rambut terikat seperti ekor kuda. Wajahmu yang tidak
terlalu tirus itu dengan lesung pipit dikedua pipimu menorehkan senyum dan
tanganmu melambai kearahku. aku menyambutmu dengan ekspresi datar.
Tanganmu menarik kursi yang berada
di hadapnku dan menjatuhkan tubuhmu.
Kamu membuka pembicaraan “Kamu masih
jutek.”
Aku memfokuskan aktivitasku ke latte yang ada di hadapanku.
“Belum sembuh ya, patah hatimu. Ini
sudah hampir seminggu lo. Pasti kamu benar-benar mencintai wanita itu kan?
Sampai-sampai kamu patah hati kaya orang gila.” Kamu tertawa.
Aku menatapmu garang. Lalu tawamu
terhenti. Tapi senyummu masih ada.
“Yogi.” Katamu pelan.
Aku
menyapukan pandanganku ke wajahmu.
“Kamu
terlihat ganteng kalau pakai kaos merah seperti ini.” anggukmu.
Zetzzzz...
seperti arus listrik yang menjalar ke dadaku seketika itu. Dadaku berdesir
kemudian berdebar. Semakin kencang. Seakan hampir meledak.
Lalu
apa ini?
Itu
adalah awal dari debar itu. Kamu bilang kamu ingin melihat matahari tenggelam
sore ini. kebetulan aku juga suka matahari tenggelam. Warna jingga yang
dipancarkannya itu selalu menghadirkan nuansa yang memikat hati. Aku setuju,
lalu kita ke pantai.
Sesungguhnya
bukan begini bayanganku di kotamu. Seharusnya bukan kamu yang kuinginkan selalu
ada di sampingku. Tapi dia, wanita itu yang kurasa masih tertinggal di hatiku. Apa
daya kenyataan berkata begini.
Entah,
kali ini aku merasa lupa dengan wanita yang kurasa masih tertinggal di hatiku.
Aku menikmati kebersamaan kita. Aku dan kamu duduk bersebelahan di atas pasir
dengan terus memandang ke arah mega. Anak rambutmu sebagian mengayun-ayun
bersama angin. Sinar jingga di sekitar membentuk siluet wajahmu yang semakin
lama-semakin menarik. Jidatmu yang sedikit jenong itu kurasa membuatmu semakin
terlihat cantik dengan wajahmu yang khas gadis jawa.
Aku
terus memperhatikanmu. Sedari tadi yang kamu lakukan adalah menghitung mundur
matahari itu akan tenggelam. Tetapi yang membuatku terus tersenyum adalah
hitunganmu selalu meleset. Itu lucu.
Aku
baru menyadari ternyata kamu menarik. Kamu cantik.
Aku
berusaha menerjemahkan apa yang terjadi padaku. Saat aku ingin bertanya kepada
cinta, ia tak menjawab. Alhasil, ia terus membuatku berkutat penasaran.
**
Apa yang
terus berdegup di sini
Di hatiku?
Akankah ini
menjadi kenangan abadi?
Atau sebuah
kisah baru?
Lalu patah
hati bertanya, apa yang bisa menyembuhkanku?
Dan cinta
menjawab..
Jatuh cinta
lagi
Jatuh
Cinta- aku belum bisa mengakui telah jatuh hati kepadamu. Tetapi debar ini
semakin terasa. Aku merasa masih ada wanita itu di hatiku sehingga aku belum
bisa menyimpulkan bahwa aku suka padamu. Di kepalaku selalu terbayang-bayang
kata ‘ganteng’ yang kamu sebut waktu itu. Semalaman aku memikirkannya.
Kuharap ini bukan benar-benar
perpisahan. Selalu ada alasan bertemu denganmu. Katamu untuk mengelilingi
kotamu. Kita ke Malioboro sore ini. Di samping kiri-kanan banyak orang
berjualan barang-barang serta oleh-oleh khas kotamu. Cukup menarik.
Sama seperti biasanya, aku berjalan
di sampingmu. Dan kamu terus bercerita hal menarik tentang Malioboro.
“Besok aku pulang.”
Kamu menoleh. “Pulang?”
Aku merasakan getar kecewa dari
ekspresi wajahmu. Akupun mengangguk.
Kamu berubah tak seceria biasanya. Suasana
diantara kita menjadi agak canggung.
Aku sudah tak sedingin biasanya tapi
aku masih tak banyak bicara. Aku memberanikan diri untuk menggenggam tanganmu.
Awalnya kamu terkejut pada akhirnya kamu membiarkannya. Kita berdua
bergandengan menyusuri Malioboro. Kamu masih belum bicara sepatah kata pun
kepadaku. Aku merasakan ketenangan lagi dalam hatiku. Sesekali aku melirik
wajahmu dari samping. Senyummu mengembang.
Aku melirik penjual bunga di pinggir
jalan. Ada bunga Adelweys. Katanya
itu bunga abadi. Aku tertarik. Dan katamu kamu juga suka bunga itu. Aku ingin
membelinya seikat.
“Ini, untukmu saja.”
“Untukku?” Tanyamu. “Terimakasih.”
Kamu tersenyum.
Aku juga tersenyum lalu mengangguk.
“Jam berapa besok kamu pulang?” kamu
bertanya lagi.
“Mungkin sore.”
“Kalau kamu mau, kamu boleh mampir
dulu ke rumahku.” Tambahmu. “Aku senang kamu lebih ramah.”
Aku hanya mengangguk.
Semakin aku menatap lengkung
disenyummu semua menjelma menjadi kisah yang rumit yang telah kuukir sendiri.
Aku patah hati. Apa mungkin kamu akan merakit hatiku kembali? Sulit bagiku
untuk menerima semua. Terlalu panjang memoriku bersama wanita itu. Mustahil
jika aku bisa menghapusnya hanya dalam waktu sekejap kemudian tergantikan oleh
kamu yang baru beberapa hari kukenal.
Waktu semakin sore, aku harus segera
kembali ke hotel. Kamu bilang kamu ingin mengantarku. Tak masalah bagiku. Aku
juga mulai menikmati kebersamaan kita berdua. Jalan-jalan menjelang sore
semakin ramai. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Keindahan kota mulai terasa.
Dinginnya kota ini juga mulai menyapa kembali. Tetapi dinginnya hatiku mulai
menghangat.
Sebelumnya aku berniat
menghantarkanmu pulang ke rumahmu, tapi kamu menolak. Kamu bilang rumahmu tidak
jauh dari hotelku. Tepat di depan hotel. Ada suara yang memanggil namaku.
Rasanya tak asing suara itu. Aku membalikkan badanku, mencari ke arah sumber
suara. Ku tak tau, sebenarnya takdir apa yang dituliskan dalam hidupku. Tepat
di belakangku berdiri seorang wanita dengan rambut lurus terurai membingkai
wajahnya. Matanya terlihat bengkak. Aku terpaku. Mematunng menatapnya. Ia
berlari ke arahku lalu memeluk tubuhku erat. Aku juga demikian, membalas
memeluk tubuhnya. Ia terisak di dalam pelukanku.
“Yogi, maafkan aku..” katanya pelan
sambil terselip isakan tangis. “aku terlalu bodoh telah menyia-nyiakanmu.”
Aku
masih belum bisa berkata-kata.
“Yogi,
aku masih mencintaimu.. maukah kau kembali seperti dulu?”
“jika
hubungan kita masih bisa diperbaiki, ya kenapa tidak?” balasku spontan.
Aku masih melihatmu menggenggam
bunga itu di tangan kirimu. Kamu memandang kami dengan senyum. Lalu kamu
membalikkan badan dan pergi menjauh. Kupikir itu senyum terakhir darimu yang
bisa ku kenang.
**
Kau
tau, apa yang membuat debar ini semakin nyata. Kau menyusup di dalamnya dan
meracik rindu.
Aku
rindu saat riangmu selalu menceritakan cerita-cerita konyol serta
ocehan-ocehanmu yang kuanggap tidak penting.
Ada
debar aneh yang selalu menghantuiku. Kamu meninggalkan jejak di hatiku. Itu membuatku
ingin selalu mencarimu. Akhirnya kuputuskan setelah tiga hari aku pulang. Aku
kembali lagi ke kotamu. Kemudian terus mencarimu di tempat-tempat yang pernah
kita kunjungi. Tetapi hadirmu tak pernah tampak.
Tepat
enam bulan setelah kita tidak pernah bertemu aku mengajukan surat lamaran di
salah satu perusahaan swasta di kotamu. Hasilnya, Aku diterima bekerja di sini.
Ini
tahun kedua aku tinggal di kotamu. Namun sama sekali belum pernah menemukanmu.
Aku mencintaimu. Aku memang bodoh tak ungkapkan ini sejak awal. Aku juga
terlalu naif waktu itu kubilang tak ingin tau namamu. Hanya sekedar ingin tau
namamu. Pasti namamu seindah senyummu. Aku menyebut namamu Adelweys. Seperti bunga itu yang kuberikan padamu. Dan namamu
selalu abadi di sisiku seperti bunga Adelways
simbol keabadian. Penyesalan paling terdalam adalah aku tak pernah menjadi
sosok lelaki yang hangat di hadapanmu. Meskipun kamu tak pernah kembali di
sini. Tapi kotamu selalu hadirkan senyummu yang abadi.
Suatu
hari nanti jika saja kita bertemu, aku akan menjadi sosok lelaki yang hangat. Aku
masih menunggumu. Aku akan tetap menunggumu berapa lama pun itu. Di sini, di kotamu.
Kau seperti
aroma mati dalam jiwaku.
Aku ingin
kau pergi, tapi bagaimana?
Aku tak pernah bisa menebak kapan engkau
datang.
Seandainya aku bisa, aku ingin membunuhmu
rindu.
Salam rindu
buat kamu.
~L.I~
Dari sebuah lagu "Kla Project-Jogjakarta"
Dari sebuah lagu "Kla Project-Jogjakarta"